Mengapa Saksi Yehuwa Bersikap Militan?

Sering kali saya ditanya oleh sahabat Kristen, mengapa Saksi Yehuwa bersikap begitu militan? Nah, sikap yang demikian militan sesungguhnya tidak lepas dari keyakinan mereka akan doktrin Menara Pengawal yang diajarkan oleh Joseph F Rutherford, presiden kedua Menara Pengawal yaitu dengan istilah 'Bukan Bagian dari Dunia'. Ajaran ini sangat berdampak besar bagi Saksi-Saksi Yehuwa dalam bersikap. Kerap kali mereka dianggap sebagai anti pemerintah karena tidak mau ikut berdinas militer ataupun melakukan pemungutan suara.  Sikap militan lainnya adalah  tidak merayakan hari-hari raya;  tahun baru, natal, salut kepada bendera, dan lain-lain. Bahkan, ulang tahun sendiri, tidaklah dirayakan. 

Di beberapa negara sikap Saksi-Saksi Yehuwa ini mendapatkan tentangan keras dari pemerintah setempat sehingga banyak kegiatan mereka dilarang, bahkan dipenjara ataupun mendapatkan penganiayaan.

Berikut merupakan cuplikan dari buku Saksi-Saksi Yehuwa — Pemberita Kerajaan Allah hlm. 188 - 201 pasal 14 yang membahas mengenai hal ini untuk menambah wawasan kita. Berikut kutipannya.

— Awal Kutipan 

”Mereka Bukan Bagian dari Dunia”

AGAMA zaman modern dalam kebanyakan hal, benar-benar menjadi bagian dari dunia, maka agama ikut serta dalam hari-hari raya dunia dan mencerminkan semangatnya yang nasionalistis. Para pemimpin agamanya sering kali mengakui fakta tersebut, dan banyak dari mereka menyukainya. Sangat berlawanan dengan hal itu, Yesus berkata tentang pengikut-pengikutnya yang sejati, ”Mereka bukan bagian dari dunia, sama seperti Aku bukan bagian dari dunia.”—Yoh. 17:16, NW.

Apa yang sejarah perlihatkan tentang Saksi-Saksi Yehuwa berkenaan hal ini? Apakah mereka telah memberikan bukti yang menyakinkan bahwa mereka bukan bagian dari dunia?

Sikap Terhadap Sesama Mereka

Siswa-Siswa Alkitab yang mula-mula benar-benar menyadari bahwa umat Kristen sejati bukan bagian dari dunia. The Watch Tower menjelaskan bahwa karena para pengikut Kristus yang terurap itu disucikan dan diperanakkan oleh roh kudus agar mereka dapat mewarisi Kerajaan surga, mereka oleh tindakan Allah ini, telah dipisahkan dari dunia. Sebagai tambahan, majalah itu menunjukkan bahwa mereka wajib menolak semangat dunia—tujuan, ambisi, dan harapan-harapannya, demikian pula cara-caranya yang mementingkan diri.—1 Yoh. 2:15-17.

Apakah ini mempengaruhi sikap Siswa-Siswa Alkitab terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kepercayaan yang sama dengan mereka? Ini tentu tidak membuat mereka menjadi petapa. Namun, mereka yang benar-benar menerapkan hal-hal yang mereka pelajari dari Alkitab tidak mencari persahabatan dengan orang-orang duniawi sedemikian rupa sehingga meniru cara hidup mereka. The Watch Tower menunjukkan nasihat Alkitab kepada hamba-hamba Allah untuk ”berbuat baik kepada semua orang”. Majalah itu juga menasihatkan bahwa jika dianiaya, mereka harus berupaya untuk menghindari perasaan dendam dan, sebaliknya, seperti Yesus katakan, harus ’mengasihi musuh mereka’. (Gal. 6:10; Mat. 5:44-48) Terutama ditekankan agar mereka berupaya membagikan kepada orang lain kebenaran yang berharga tentang persediaan Allah untuk keselamatan.

Dapat dimengerti bahwa karena melakukan hal-hal ini, mereka dianggap berbeda oleh dunia ini. Namun, bukan bagian dari dunia mencakup lebih banyak hal—jauh lebih banyak.

Terpisah dan Berbeda dari Babel Besar

Untuk tidak menjadi bagian dari dunia, mereka harus tidak menjadi bagian dari sistem-sistem keagamaan yang sangat terlibat dalam urusan-urusan dunia ini dan yang telah menyerap doktrin-doktrin dan kebiasaan-kebiasaan Babel purba, musuh lama dari ibadat sejati. (Yer. 50:29) Ketika perang dunia pertama meletus, Siswa-Siswa Alkitab selama berpuluh-puluh tahun telah menyingkapkan akar kekafiran dari doktrin-doktrin Susunan Kristen seperti Tritunggal, jiwa manusia yang tidak berkematian, dan api neraka. Mereka juga telah membeberkan sejarah gereja-gereja yang mencoba memanipulasi pemerintah demi tujuan mereka sendiri yang mementingkan diri. Karena doktrin-doktrin dan praktek-praktek Susunan Kristen, Siswa-Siswa Alkitab telah menyamakannya dengan ”Babel Besar”. (Why. 18:2) Mereka menunjukkan bahwa Susunan Kristen mencampur kebenaran dengan kesalahan, kekristenan yang suam-suam kuku dengan kepalsuan duniawi, dan bahwa sebutan Alkitab ”Babel” (artinya ”Kekacauan”) dengan tepat menggambarkan keadaan itu. Mereka mendesak para pencinta Allah untuk keluar dari ”Babel”. (Why. 18:4) Untuk tujuan itu, pada akhir bulan Desember 1917 dan awal tahun 1918, mereka membagikan 10.000.000 eksemplar terbitan The Bible Student Monthly yang menonjolkan pokok ”Kejatuhan Babel”, yang merupakan pembeberan yang menyakitkan atas Susunan Kristen. Hal ini, sebaliknya, mengakibatkan rasa permusuhan yang sengit dari para pemimpin agama, yang memanfaatkan suasana histeris masa perang dalam upaya menghancurkan pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa.

Tanpa dapat dihindari, keluar dari Babel Besar berarti mengundurkan diri dari keanggotaan organisasi-organisasi yang mendukung doktrin-doktrin palsunya. Siswa-Siswa Alkitab melakukan hal itu, walaupun selama bertahun-tahun mereka menganggap sebagai saudara Kristen pribadi-pribadi dalam gereja yang mengaku telah memberi pengabdian penuh dan iman akan tebusan. Walaupun begitu, Siswa-Siswa Alkitab bukan hanya menulis surat pengunduran diri dari gereja-gereja Susunan Kristen, tetapi, bilamana mungkin, beberapa membacakan dengan suara keras surat pengunduran diri itu pada pertemuan-pertemuan gereja jika para anggota diizinkan berbicara. Jika hal ini tidak mungkin, mereka akan mengirimkan satu salinan surat pengunduran diri mereka—surat yang ramah yang berisi kesaksian yang cocok—kepada setiap anggota gereja.

Apakah mereka juga memastikan bahwa mereka tidak membawa serta kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek apa pun yang tidak saleh dari organisasi-organisasi tersebut? Bagaimana keadaannya selama masa menjelang Perang Dunia I?

Haruskah Agama Berbaur Dengan Politik?

Dalam arena politik, penguasa dari banyak negara terkemuka, karena hubungan mereka dengan gereja Katolik atau Protestan, telah lama menyatakan berkuasa ’atas kehendak ilahi’, sebagai wakil-wakil Kerajaan Allah dan dengan perkenan istimewa dari Allah. Gereja memberikan restunya kepada pemerintah; dan sebagai balasannya, pemerintah memberikan dukungannya kepada gereja. Apakah Siswa-Siswa Alkitab juga ikut melakukannya?

Daripada meniru gereja-gereja Susunan Kristen, mereka berupaya belajar dari ajaran-ajaran dan teladan Yesus Kristus dan para rasulnya. Apa yang diperlihatkan oleh penelitian Alkitab mereka? Publikasi-publikasi Menara Pengawal yang mula-mula menyingkapkan bahwa mereka tahu benar ketika Yesus ditanyai oleh gubernur Roma Pontius Pilatus, ia menyatakan, ”KerajaanKu bukan [bagian, NW] dari dunia ini.” Sebagai jawaban atas pertanyaan tentang peranan Yesus, ia berkata kepada sang gubernur, ”Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran.” (Yoh. 18:36, 37) Siswa-Siswa Alkitab mengetahui bahwa Yesus berpaut tanpa dapat digoyahkan pada penugasan tersebut. Ketika Iblis menawarkan kepadanya semua kerajaan dunia dan kemuliaannya, Yesus menolak. Ketika orang-orang hendak menjadikannya raja, ia menyingkir. (Mat. 4:8-10; Yoh. 6:15) Siswa-Siswa Alkitab tidak mengabaikan fakta bahwa Yesus menyebut Iblis ”penguasa dunia” dan bahwa Iblis ’tidak berkuasa sedikit pun atas dirinya’. (Yoh. 14:30) Mereka dapat melihat bahwa Yesus tidak mencoba melibatkan dirinya atau para pengikutnya dalam sistem politik Roma tetapi ia sangat sibuk memberitakan ”Injil Kerajaan Allah”.—Luk. 4:43.

Apakah kepercayaan mereka akan hal-hal yang dicatat dalam Firman Allah ini menganjurkan mereka untuk tidak respek kepada wewenang pemerintah? Sama sekali tidak. Sebaliknya, hal itu membantu mereka mengerti mengapa problem-problem yang dihadapi para penguasa begitu banyak, mengapa ada begitu banyak pelanggaran hukum, dan mengapa program-program pemerintah untuk memperbaiki nasib orang-orang sering kali gagal. Kepercayaan mereka membuat mereka sabar dalam menghadapi kesulitan, karena mereka yakin bahwa Allah akan mendatangkan kelegaan selama-lamanya pada waktu-Nya yang tepat melalui kerajaan-Nya. Pada waktu itu mereka mengerti bahwa ”kekuasaan yang lebih tinggi”, yang ditunjuk di Roma 13:1-7 (KJ), adalah para penguasa duniawi. Selaras dengan itu, mereka sangat menganjurkan respek kepada para pejabat pemerintah. Ketika membahas Roma 13:7, C. T. Russell, dalam buku The New Creation (diterbitkan tahun 1904), menyatakan bahwa umat Kristen sejati ”sewajarnya akan menjadi orang-orang yang paling tulus dalam pengakuan mereka akan para penguasa dunia ini, dan yang paling taat kepada hukum-hukum dan tuntutan-tuntutan hukum, kecuali jika hal-hal ini didapati bertentangan dengan tuntutan-tuntutan dan perintah-perintah surgawi. Kalaupun ada penguasa di bumi pada zaman ini yang mengkritik pengakuan akan Pencipta tertinggi dan kesetiaan yang sepenuhnya kepada perintah-perintah-Nya. Maka, [umat Kristen sejati] seharusnya didapati di antara orang-orang yang paling mematuhi hukum pada masa ini—bukan pembuat kerusuhan, bukan orang-orang yang suka bertengkar, bukan pencari kesalahan.”

Sebagai umat Kristen, Siswa-Siswa Alkitab mengetahui bahwa pekerjaan yang harus mereka tekuni adalah pengabaran Kerajaan Allah. Juga, sebagaimana dinyatakan dalam jilid pertama Studies in the Scriptures, ”jika pekerjaan ini dilakukan dengan setia, tidak akan ada waktu atau kecenderungan untuk terlibat dalam politik dari pemerintahan-pemerintahan dewasa ini.”

Dalam hal ini mereka, sampai tingkat yang cukup besar, sama seperti orang-orang Kristen masa awal yang digambarkan oleh Augustus Neander dalam buku The History of the Christian Religion and Church, During the Three First Centuries, ”Umat Kristen terpisah dan berbeda dari negara, . . . dan kekristenan tampaknya mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat hanya dengan cara yang, harus diakui, paling murni, dengan benar-benar berupaya menanamkan semakin banyak kesalehan ke dalam diri warga-warga negara.”

Ketika Dunia Berperang

Di seluruh dunia, peristiwa Perang Dunia I benar-benar menguji mereka yang mengaku umat Kristen. Perang itu adalah perang yang paling mengerikan yang diperjuangkan sampai saat itu; hampir seluruh penduduk dunia terlibat dalam satu atau lain cara.

Meskipun Vatikan bersimpati terhadap blok Negara Sentral, Paus Benedict XV, berupaya mempertahankan penampilan yang netral. Akan tetapi, di setiap negara, para pemimpin agama Katolik dan Protestan, tidak memelihara pendirian netral demikian. Berkenaan situasi di Amerika Serikat, Dr. Ray Abrams, dalam bukunya Preachers Present Arms, menulis, ”Gereja-gereja menerima suatu persatuan dalam tujuan yang sampai sekarang ini tidak diketahui dalam sejarah agama. . . . Para pemimpinnya tidak membuang waktu untuk diorganisasi secara cermat dengan alasan masa perang. Dalam waktu dua puluh empat jam setelah diumumkannya perang, Majelis Federal dari Gereja-Gereja Kristus di Amerika membuat rencana-rencana untuk kerja sama yang sepenuhnya. . . . Gereja Katolik Roma, mengorganisasi dinas serupa di bawah Majelis Perang Nasional Katolik, dipimpin oleh empat belas uskup agung dan dengan Kardinal Gibbons sebagai presiden, memperlihatkan pembaktian yang sama demi tujuan tersebut. . . . Banyak gereja terlibat lebih jauh daripada yang diminta. Gereja-gereja mulai mendirikan pos-pos untuk menerima pendaftaran menjadi tentara.” Apa yang Siswa-Siswa Alkitab lakukan?

Walaupun mereka berupaya melakukan apa yang mereka anggap menyenangkan Allah, kedudukan mereka tidaklah selalu netral sepenuhnya. Apa yang mereka lakukan dipengaruhi oleh kepercayaan, yang umumnya juga dipercayai oleh orang-orang lain yang mengaku orang Kristen, bahwa ”kekuasaan yang lebih tinggi” itu ”ditetapkan oleh Allah” sesuai dengan susunan kata dalam terjemahan King James Version. (Rm. 13:1) Maka, sesuai dengan sebuah proklamasi dari Presiden Amerika Serikat, The Watch Tower mendesak Siswa-Siswa Alkitab untuk ikut serta dalam menghormati tanggal 30 Mei 1918, sebagai hari doa dan permohonan sehubungan dengan hasil perang dunia.

Selama tahun-tahun perang itu, keadaan yang menimpa Siswa-Siswa Alkitab secara pribadi berbeda-beda. Cara mereka menghadapi situasi-situasi ini juga berbeda-beda. Karena merasa wajib menaati ”kekuasaan-kekuasaan yang ada”, sebagaimana mereka menyebutkan para penguasa duniawi, ada yang terjun ke dalam parit-parit perlindungan di baris depan dengan senapan dan bayonet. Namun karena mengingat ayat, ”Jangan membunuh”, mereka akan menembakkan senjata mereka ke udara atau hanya mencoba menjatuhkan senjata dari tangan musuh. (Kel. 20:13) Beberapa orang, seperti misalnya Remigio Cuminetti, di Italia, menolak mengenakan seragam militer. Pemerintah Italia pada waktu itu tidak membuat perkecualian bagi siapa pun yang karena alasan hati nurani tidak mau mengangkat senjata. Ia dihadapkan ke pengadilan sebanyak lima kali dan ditahan dalam penjara-penjara dan sebuah pusat rehabilitasi mental, tetapi iman dan tekadnya tetap tidak tergoyahkan. Di Inggris, beberapa orang yang meminta pembebasan dari dinas militer diberi tugas untuk bekerja demi kepentingan nasional atau menjadi tentara yang tidak ikut bertempur. Yang lain-lain, seperti Pryce Hughes, mengambil pendirian untuk netral sepenuhnya, tidak soal akibat-akibat yang harus mereka alami secara pribadi.

Setidaknya sampai di situ, sejarah Siswa-Siswa Alkitab secara umum tidaklah seperti yang dilukiskan tentang umat Kristen masa awal dalam The Rise of Christianity, oleh E. W. Barnes, yang melaporkan, ”Suatu tinjauan yang saksama dari semua informasi yang tersedia terus memperlihatkan bahwa, sampai zaman Marcus Aurelius [kaisar Roma dari tahun 161 sampai 180 M], tidak ada orang Kristen yang menjadi tentara; dan tidak ada tentara yang, setelah menjadi seorang Kristen, tetap berada dalam dinas militer.”

Namun kemudian, pada akhir Perang Dunia I, timbul situasi lain yang menuntut kelompok-kelompok agama memperlihatkan kepada siapa loyalitas mereka.

Pernyataan Politik dari Kerajaan Allah?

Sebuah perjanjian perdamaian, termasuk Perjanjian Liga Bangsa-Bangsa, ditandatangani di Versailles, Prancis, pada tanggal 28 Juni 1919. Bahkan sebelum perjanjian perdamaian itu ditandatangani, Majelis Federal dari Gereja-Gereja Kristus di Amerika menyatakan terus terang seraya mengumumkan bahwa Liga itu akan menjadi ”pernyataan politik dari Kerajaan Allah di bumi”. Dan Senat AS dibanjiri surat-surat dari berbagai kelompok agama yang mendesaknya untuk mengesahkan Perjanjian Liga Bangsa-Bangsa.

Saksi-Saksi Yehuwa tidak ikut-ikutan mendukung pihak yang menang. Bahkan sebelum perjanjian perdamaian disahkan (pada bulan Oktober), J. F. Rutherford menyampaikan sebuah khotbah di Cedar Point, Ohio, pada tanggal 7 September 1919. Dalam khotbah tersebut ia menunjukkan bahwa bukan Liga Bangsa-Bangsa melainkan Kerajaan yang didirikan Allah sendiri adalah satu-satunya harapan bagi umat manusia yang tertekan. Seraya mengakui bahwa perjanjian manusia untuk memperbaiki keadaan dapat menghasilkan banyak hal baik, Siswa-Siswa Alkitab itu tidak memalingkan diri dari Kerajaan Allah sebagai ganti haluan politik yang bijaksana yang didirikan oleh para politikus dan diberkati oleh para pemimpin agama. Sebaliknya, mereka menunaikan pekerjaan memberikan kesaksian sedunia mengenai Kerajaan yang Allah telah berikan ke tangan Yesus Kristus. (Why. 11:15; 12:10) Dalam The Watch Tower 1 Juli 1920, dijelaskan bahwa itulah pekerjaan yang telah Yesus nubuatkan di Matius 24:14.

Sekali lagi, setelah Perang Dunia II, umat Kristen menghadapi masalah yang sama. Kali ini menyangkut Perserikatan Bangsa-Bangsa, penerus Liga itu. Ketika Perang Dunia II masih berlangsung, pada tahun 1942, Saksi-Saksi Yehuwa telah memahami dari Alkitab, di Wahyu 17:8, bahwa organisasi perdamaian dunia akan bangkit kembali, juga bahwa organisasi itu akan gagal membawa perdamaian kekal. Hal ini dijelaskan oleh N. H. Knorr, yang waktu itu adalah presiden Watch Tower Society, dalam khotbah di kebaktian ”Perdamaian—Dapatkah Ini Bertahan?” Dengan berani Saksi-Saksi Yehuwa memberitakan pandangan tentang perkembangan situasi dunia. Sebaliknya, para pemimpin Katolik, Protestan, dan Yahudi benar-benar ikut memikirkan ketika Piagam PBB itu dikonsepkan di San Francisco pada tahun 1945. Bagi para pengamat perkembangan-perkembangan ini, sangat jelas siapa yang ingin menjadi ”sahabat dunia” dan siapa yang berupaya menjadi ”bukan bagian dari dunia”, seperti yang Yesus katakan akan terjadi pada murid-muridnya.—Yak. 4:4; Yoh. 17:14, NW.

Catatan Kenetralan Kristen

Walaupun Saksi-Saksi Yehuwa dengan cepat memahami masalah-masalah berkenaan hubungan orang Kristen dengan dunia, perkara-perkara lain memerlukan waktu lebih lama. Akan tetapi, seraya Perang Dunia II mulai berkecamuk di Eropa, sebuah artikel penting dalam The Watchtower 1 November 1939 membantu mereka menghargai makna dari kenetralan Kristen. Para pengikut Yesus Kristus, kata artikel tersebut, berkewajiban di hadapan Allah untuk berbakti sepenuhnya kepada Dia dan Kerajaan-Nya, Teokrasi itu. Doa-doa mereka seharusnya untuk Kerajaan Allah, bukan untuk dunia. (Mat. 6:10, 33) Memandang dari apa yang Yesus Kristus singkapkan tentang identitas penguasa dunia yang tidak kelihatan (Yoh. 12:31; 14:30), artikel itu menerangkan, bagaimana mungkin seorang yang berbakti kepada Kerajaan Allah mendukung salah satu pihak dalam suatu konflik antar faksi-faksi di dunia? Bukankah Yesus telah berkata tentang para pengikutnya, ”Mereka bukan bagian dari dunia, sama seperti Aku bukan bagian dari dunia”? (Yoh. 17:16, NW) Kedudukan Kristen yang netral ini bukanlah sesuatu yang akan dimengerti oleh dunia pada umumnya. Namun, apakah Saksi-Saksi Yehuwa benar-benar hidup sesuai dengannya?

Kenetralan mereka mengalami ujian yang sulit selama Perang Dunia II, terutama di Jerman. Sejarawan Brian Dunn menyatakan, ’Saksi-Saksi Yehuwa tidak dapat diperdamaikan dengan Nazisme. Hal yang paling ditentang oleh Nazi dari mereka adalah kenetralan politik mereka. Hal ini berarti bahwa tidak seorang pun dari penganut kepercayaan ini akan memanggul senjata, bekerja pada kedudukan politik, ambil bagian dalam perayaan-perayaan umum, atau membuat tanda-tanda kesetiaan apa pun.’ (The Churches’ Response to the Holocaust, 1986) Dalam buku A History of Christianity, Paul Johnson menambahkan, ”Banyak yang dihukum mati karena menolak dinas militer . . . atau mereka berakhir di kamp konsentrasi Dachau atau tempat pengasingan penderita sakit jiwa.” Berapa banyak Saksi di Jerman yang dipenjarakan? Saksi-Saksi Yehuwa di Jerman belakangan melaporkan bahwa ada 6.262 di antara mereka yang pernah ditahan dan 2.074 dari jumlah itu dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi. Para penulis duniawi biasanya memilih angka-angka yang lebih tinggi.

Di Inggris, di mana pria dan wanita ditugaskan untuk dinas militer, hukum mengatur pembebasan dari dinas militer; tetapi hal ini ditolak bagi Saksi-Saksi Yehuwa oleh banyak pengadilan, dan para hakim menjatuhkan hukuman penjara kepada mereka lebih dari 600 tahun secara keseluruhan. Di Amerika Serikat, ratusan Saksi-Saksi Yehuwa sebagai rohaniwan Kristen dibebaskan dari dinas militer. Lebih dari 4.000 yang lain, menolak pembebasan militer yang disediakan oleh Selective Service Act (Pendaftaran Wajib Militer di AS), ditahan dan dipenjarakan selama masa yang berkisar sampai lima tahun. Di semua negeri di atas bumi, Saksi-Saksi Yehuwa berpegang pada pendirian yang sama mengenai kenetralan Kristen.

Akan tetapi, ujian kemurnian dari kenetralan mereka tidak berhenti dengan berakhirnya perang. Walaupun krisis tahun 1939-45 telah berlalu, konflik-konflik lain datang; dan bahkan dalam masa-masa yang relatif damai, banyak negara memilih untuk terus menjalankan dinas wajib militer. Saksi-Saksi Yehuwa, sebagai rohaniwan-rohaniwan Kristen, terus menghadapi pemenjaraan jika mereka tidak diberi pembebasan dari dinas wajib militer. Pada tahun 1949, ketika John Tsukaris dan George Orphanidis tidak mau mengangkat senjata melawan sesamanya, pemerintah Yunani memerintahkan agar mereka dieksekusi. Perlakuan (dengan berbagai bentuk) yang diberikan kepada Saksi-Saksi Yehuwa di Yunani sering kali begitu kejam sehingga pada waktunya Dewan Eropa (Panitia Hak-Hak Asasi Manusia) berupaya menggunakan pengaruhnya demi Saksi-Saksi, tetapi sebagai akibat tekanan dari gereja Ortodoks Yunani, sampai tahun 1992 desakan mereka, dengan sedikit pengecualian, telah dielakkan secara licik. Akan tetapi, beberapa pemerintah merasa tidak patut untuk terus menghukum Saksi-Saksi Yehuwa oleh karena kepercayaan agama yang didasarkan atas suara hati nurani mereka. Mulai sejak tahun 1990-an, di beberapa negeri, seperti Swedia, Finlandia, Polandia, Belanda, dan Argentina, pemerintah tidak menekan Saksi-Saksi yang aktif untuk ikut dalam dinas militer atau dinas nasional alternatif yang wajib, walaupun setiap kasus diperiksa dengan teliti.

Dari satu tempat ke tempat lain, Saksi-Saksi Yehuwa harus menghadapi situasi yang menantang kenetralan Kristen mereka. Pemerintah-pemerintah yang sedang berkuasa di Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, Irlandia Utara, dan di tempat-tempat lain telah menghadapi perlawanan yang sengit dari kekuatan-kekuatan revolusioner. Akibatnya, pemerintah dan kekuatan oposisi menekan Saksi-Saksi Yehuwa agar memberikan dukungan yang aktif. Namun, Saksi-Saksi Yehuwa telah memelihara kenetralan penuh. Beberapa telah dipukuli dengan kejam, bahkan dieksekusi, karena pendirian yang mereka ambil. Namun, sering kali kenetralan Kristen yang sejati dari Saksi-Saksi Yehuwa telah memenangkan respek para pejabat di kedua belah pihak, dan Saksi-Saksi diizinkan meneruskan pekerjaan mereka tanpa mengalami gangguan dalam memberitahu orang-orang lain tentang kabar baik Kerajaan Yehuwa.

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, kenetralan Saksi-Saksi mengalami ujian yang brutal sehubungan dengan tuntutan bahwa semua warga negara Malawi harus membeli kartu yang menandai keanggotaan dalam partai politik yang sedang memerintah. Saksi-Saksi Yehuwa mengerti bahwa adalah bertentangan dengan keyakinan Kristen mereka untuk ikut serta dalam hal ini. Akibatnya, mereka dianiaya dengan kekejaman sadis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Puluhan ribu dipaksa melarikan diri dari negara itu, dan banyak yang akhirnya terpaksa pulang kembali untuk menghadapi kebrutalan lebih lanjut.

Walaupun dianiaya dengan kejam, Saksi-Saksi Yehuwa tidak bertindak dengan semangat memberontak. Keyakinan mereka tidak membahayakan pemerintah mana pun tempat mereka tinggal. Sebaliknya, Dewan Gereja Sedunia telah membantu membiayai banyak revolusi, dan imam-imam Katolik telah menyokong kekuatan-kekuatan gerilya. Namun, jika salah seorang dari Saksi-Saksi Yehuwa ikut serta dalam kegiatan yang bersifat subversif, itu sama saja dengan menyangkal imannya.

Memang benar bahwa Saksi-Saksi Yehuwa percaya bahwa segenap pemerintahan manusia akan disingkirkan oleh Kerajaan Allah. Inilah yang Alkitab katakan di Daniel 2:44. Namun, sebagaimana Saksi-Saksi tunjukkan, sebaliknya dari berkata bahwa manusialah yang akan mendirikan Kerajaan itu, ayat tersebut menyatakan bahwa ”Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan.” Demikian juga, mereka menjelaskan, ayat itu tidak mengatakan bahwa manusia diberi wewenang oleh Allah untuk membersihkan jalan bagi Kerajaan itu dengan menyingkirkan pemerintahan-pemerintahan manusia. Saksi-Saksi Yehuwa mengetahui bahwa pekerjaan dari umat Kristen sejati ialah mengabar dan mengajar. (Mat. 24:14; 28:19, 20) Selaras dengan respek mereka terhadap Firman Allah, catatan memperlihatkan bahwa tidak seorang pun di antara mereka pernah mencoba menggulingkan suatu pemerintahan dalam bentuk apa pun di mana pun di dunia, mereka juga tidak pernah merencanakan untuk merugikan pejabat umum. Surat kabar Italia La Stampa mengatakan tentang Saksi-Saksi Yehuwa, ”Mereka adalah warga yang paling loyal yang dapat diharapkan: mereka tidak mengelak pajak atau berupaya menghindar undang-undang yang tidak menyenangkan demi keuntungan mereka sendiri.” Walaupun begitu, karena mengakui keseriusan hal tersebut dalam pandangan Allah, setiap Saksi bertekad bulat untuk tetap ”bukan bagian dari dunia”.—Yoh. 15:19, NW; Yak. 4:4.

Jika Lambang Negara Menjadi Objek Penyembahan

Dengan bangkitnya kekuasaan Adolf Hitler di Jerman, suatu gelombang histeria yang bersifat patriotik melanda dunia. Agar dapat mengatur masyarakat, partisipasi dalam upacara-upacara patriotik diwajibkan. Di Jerman, semua orang dituntut untuk memberikan salut yang sudah ditentukan dan berteriak, ”Heil Hitler!” Ini adalah sanjungan kepada Hitler sebagai penyelamat; ini dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan bahwa semua harapan masyarakat terpusat pada kepemimpinannya. Namun, Saksi-Saksi Yehuwa tidak dapat ikut dalam perasaan seperti itu. Mereka mengetahui bahwa ibadat mereka harus ditujukan hanya kepada Yehuwa dan bahwa Ia telah membangkitkan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat umat manusia.—Luk. 4:8; 1 Yoh. 4:14.

Bahkan sebelum Hitler menjadi diktator di Jerman, Saksi-Saksi Yehuwa, dalam buku kecil The Kingdom, the Hope of the World (diterbitkan tahun 1931), meninjau teladan dalam Alkitab tentang tiga rekan Ibrani dari nabi Daniel yang berani di Babel. Ketika diperintahkan oleh raja untuk membungkuk di depan patung saat musik tertentu dimainkan, orang-orang Ibrani yang setia itu menolak untuk berkompromi, dan Yehuwa membuat perkenan-Nya nyata dengan menyelamatkan mereka. (Dan. 3:1-26) Buku kecil itu menunjukkan bahwa upacara-upacara patriotik dihadapi oleh Saksi-Saksi Yehuwa di zaman modern dengan tantangan serupa atas kesetiaan mereka.

Lama-kelamaan, agitasi untuk upacara-upacara patriotik yang wajib menyebar ke luar Jerman. Pada tanggal 3 Juni 1935, pada suatu kebaktian di Washington, DC, ketika J. F. Rutherford diminta untuk berkomentar tentang salut kepada bendera di sekolah, ia menekankan soal kesetiaan kepada Allah. Beberapa bulan kemudian, ketika Carleton B. Nichols, Jr., dari Lynn, Massachusetts, yang berumur delapan tahun, menolak untuk salut kepada bendera Amerika dan ikut menyanyikan lagu patriotik, hal itu dilaporkan dalam surat-surat kabar di seluruh negeri.

Untuk menjelaskan persoalannya, Saudara Rutherford menyampaikan sebuah khotbah di radio pada tanggal 6 Oktober dengan pokok ”Salut Kepada Bendera”. Dalam khotbah tersebut ia berkata, ”Bagi banyak orang, salut kepada bendera hanyalah sekadar formalitas dan hanya sedikit atau sama sekali tidak bermakna. Bagi mereka yang dengan tulus mempertimbangkannya dari sudut Alkitab, artinya penting sekali.

”Bendera mewakili wewenang pemerintahan yang kelihatan. Untuk mencoba melalui hukum memaksa seorang warga negara atau seorang anak dari seorang warga negara memberi salut kepada objek atau benda apa pun, atau menyanyikan yang disebut ’lagu-lagu patriotik’, benar-benar tidak adil dan salah. Undang-undang dibuat dan diberlakukan untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang bermaksud jahat yang mengakibatkan kerugian orang lain, dan tidak dibuat untuk tujuan memaksa seseorang melanggar hati nuraninya, dan khususnya pada waktu hati nurani itu dibimbing sesuai dengan Firman Allah Yehuwa.

”Menolak untuk salut kepada bendera, dan berdiri membisu, seperti yang dilakukan anak ini, tidak merugikan siapa pun. Jika seseorang dengan tulus percaya bahwa perintah Allah menentang untuk memberi salut kepada bendera, kemudian memaksa orang itu untuk memberi salut kepada bendera berlawanan dengan Firman Allah, dan berlawanan dengan hati nuraninya, hal itu akan sangat merugikan orang itu. Negara tidak mempunyai hak melalui hukum atau apa pun untuk merugikan masyarakat.”

Penjelasan lebih lanjut tentang alasan-alasan untuk pendirian yang diambil oleh Saksi-Saksi Yehuwa dimuat dalam buku kecil Loyalty, juga diterbitkan pada tahun 1935. Perhatian diberikan kepada ayat-ayat sebagai berikut: Keluaran 20:3-7, yang memerintahkan bahwa ibadat hanya ditujukan kepada Yehuwa dan hamba-hamba Allah tidak boleh membuat atau membungkuk di hadapan patung atau sesuatu yang menyerupai apa pun di langit atau di bumi; Lukas 20:25, di ayat ini Yesus Kristus memerintahkan bahwa bukan hanya perkara-perkara milik Kaisar yang harus dibayarkan kembali kepada Kaisar tetapi apa yang menjadi milik Allah harus diberikan kepada-Nya; dan Kisah 5:29, yang memuat kata-kata para rasul yang menyatakan dengan tegas, ”Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.”

Di Amerika Serikat, tata krama mengenai memaksa seseorang untuk memberi salut kepada bendera diajukan ke pengadilan-pengadilan. Pada tanggal 14 Juni 1943, Mahkamah Agung AS mengubah keputusannya sendiri yang terdahulu dan, dalam kasus West Virginia State Board of Education v. Barnette, memutuskan bahwa wajib salut kepada bendera tidak konsisten dengan jaminan kemerdekaan yang dikemukakan dalam undang-undang negara itu sendiri.

Masalah yang menyangkut upacara-upacara nasionalistis sama sekali tidak terbatas di Jerman dan Amerika Serikat. Di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Afrika, dan Asia, Saksi-Saksi Yehuwa telah dianiaya dengan kejam karena mereka tidak mau berpartisipasi, walaupun mereka berdiri dengan penuh respek selama penghormatan kepada bendera atau upacara-upacara semacam ini. Anak-anak dipukuli; banyak yang dikeluarkan dari sekolah. Berbagai kasus pengadilan telah diperjuangkan.

Akan tetapi, para pengamat merasa terdorong untuk mengakui bahwa dalam hal ini sebagaimana juga dalam perkara-perkara lain, Saksi-Saksi Yehuwa telah terbukti mirip dengan umat Kristen masa awal. Namun, seperti dinyatakan dalam buku The American Character, ”Bagi kebanyakan orang . . . keberatan Saksi-Saksi tidak dapat dipahami sebagaimana bagi Trajan dan Pliny sehubungan dengan keberatan umat Kristen [dalam Kekaisaran Romawi] untuk membuat persembahan formal kepada Kaisar Ilahi.” Hal ini patut diharapkan, karena Saksi-Saksi Yehuwa, seperti umat Kristen masa awal, memandang berbagai perkara tidak seperti dunia ini tetapi menurut prinsip-prinsip Alkitab.

Pendirian Mereka Dinyatakan Dengan Jelas

Setelah Saksi-Saksi Yehuwa mengalami ujian-ujian yang sulit sehubungan kenetralan Kristen mereka selama bertahun-tahun, The Watchtower 1 November 1979, menegaskan kembali kedudukan mereka. Majalah ini juga menjelaskan alasan tindakan yang diambil oleh Saksi-Saksi secara pribadi, dengan mengatakan, ”Sebagai hasil penelitian Firman Allah yang tekun, orang-orang Kristen muda ini mampu mengambil keputusan. Tidak ada orang lain yang mengambil keputusan ini untuk mereka. Mereka mampu mengambilnya secara pribadi, berdasarkan hati nurani masing-masing yang terlatih oleh Alkitab. Keputusan mereka adalah untuk menghindari tindakan-tindakan kebencian dan kekerasan terhadap sesama mereka dari bangsa-bangsa lain. Ya, mereka mempercayai, dan ingin turut serta dalam menggenapi nubuat yang terkenal dari Yesaya, ’Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.’ (Yes. 2:4) Para pemuda dari segala bangsa ini benar-benar melakukannya.”

Pada tahun-tahun selama ketaatan mereka untuk kenetralan Kristen diuji, pemeriksaan kembali tentang apa yang Alkitab katakan, dalam Roma 13:1-7, mengenai ”kalangan berwenang yang lebih tinggi” (NW) membawa kepada pernyataan yang lebih jelas mengenai hubungan Saksi-Saksi dengan pemerintahan duniawi. Hal ini diterbitkan dalam Watchtower terbitan 1 November, 15 November, dan 1 Desember 1962, dan ditegaskan kembali dalam Menara Pengawal terbitan 1 November 1990. Artikel-artikel itu menandaskan kedudukan Allah Yehuwa sebagai ”Yang Mahatinggi”, dan juga menunjukkan bahwa para penguasa duniawi adalah ”kalangan berwenang yang lebih tinggi” hanya dalam hubungannya dengan manusia lain dan di dalam lingkup kegiatan yang Allah izinkan bagi mereka untuk berfungsi dalam sistem perkara sekarang ini. Artikel-artikel itu memperlihatkan perlunya umat Kristen sejati dengan sungguh-sungguh menghormati penguasa-penguasa duniawi demikian dan mematuhi mereka dalam semua hal yang tidak bertentangan dengan hukum Allah dan hati nurani mereka yang terlatih oleh Alkitab.—Dan. 7:18; Mat. 22:21; Kis. 5:29; Rm. 13:5.

Karena berpaut dengan teguh pada standar-standar Alkitab ini, Saksi-Saksi Yehuwa telah mendapatkan reputasi sebagai kelompok yang terpisah dari dunia ini yang mengingatkan orang-orang kepada umat Kristen masa awal.

Pada Waktu Dunia Mengadakan Hari-Hari Rayanya

Ketika Saksi-Saksi Yehuwa menyingkirkan ajaran-ajaran agama yang mempunyai akar kekafiran, mereka tidak ikut lagi dalam banyak kebiasaan yang juga ternoda. Namun selama beberapa waktu, hari-hari raya tertentu tidak diteliti secermat yang seharusnya. Salah satu di antaranya adalah Natal.

Hari raya ini dirayakan setiap tahun bahkan oleh anggota-anggota staf kantor pusat Watch Tower Society di Rumah Betel, Brooklyn, New York. Selama bertahun-tahun mereka telah menyadari bahwa 25 Desember bukanlah tanggal yang tepat, tetapi mereka berpikir bahwa tanggal itu sejak lama telah secara populer dihubungkan dengan kelahiran Juru Selamat dan bahwa melakukan sesuatu yang baik untuk orang-orang lain adalah hal yang patut pada hari apa pun juga. Akan tetapi, setelah penyelidikan yang lebih lanjut tentang pokok ini, anggota-anggota staf kantor pusat Lembaga, demikian juga staf-staf pada kantor-kantor cabang di Inggris dan di Swiss, memutuskan untuk berhenti ikut serta dalam perayaan-perayaan Natal, jadi tidak ada perayaan Natal diadakan setelah tahun 1926.

R. H. Barber, seorang anggota staf kantor pusat yang mengadakan penyelidikan saksama tentang asal-usul kebiasaan-kebiasaan Natal dan buah-buah yang dihasilkannya, mengemukakan hasilnya pada suatu siaran radio. Keterangan itu juga dimuat dalam The Golden Age 12 Desember 1928. Ini adalah penyingkapan saksama tentang akar-akar Natal yang tidak menghormati Allah. Sejak itu, akar kekafiran dari kebiasaan-kebiasaan Natal telah menjadi hal yang diketahui umum, tetapi sebagai hasilnya hanya sedikit yang mengubah jalan hidup mereka. Di lain pihak, Saksi-Saksi Yehuwa rela membuat perubahan yang diperlukan agar dapat menjadi hamba-hamba Yehuwa yang lebih diperkenan.

Ketika diperlihatkan bahwa sebenarnya orang-orang lebih berminat untuk merayakan kelahiran Yesus daripada tebusan yang disediakan melalui kematiannya; bahwa pesta liar hari raya itu dan semangat memberi hadiah itu tidak menghormati Allah; bahwa orang Majus yang pemberian hadiahnya ditiru, sebenarnya adalah para astrolog yang diilhami hantu-hantu; bahwa para orang-tua memberikan teladan kepada anak-anaknya untuk berdusta dengan menceritakan kepada mereka tentang Santa Claus (Sinterklas); bahwa ”St. Nicholas” (Santa Claus) tidak dapat disangkal adalah nama lain dari Iblis sendiri; dan bahwa perayaan-perayaan seperti itu, sebagaimana diakui oleh Kardinal Newman dalam karyanya Essay on the Development of Christian Doctrine, ”adalah benar-benar alat dan embel-embel dari penyembahan kepada hantu-hantu” yang telah diterima oleh gereja—ketika hal-hal ini disadari, Saksi-Saksi Yehuwa secara langsung dan permanen tidak lagi mengambil bagian apa pun dalam perayaan Natal.

Saksi-Saksi Yehuwa mempunyai waktu-waktu yang menyenangkan bersama keluarga dan teman-teman mereka. Namun, mereka tidak berpartisipasi dalam hari-hari raya atau perayaan-perayaan yang ada kaitannya dengan dewa-dewa kafir (sebagaimana halnya pada hari-hari raya seperti Paskah, Tahun Baru, 1 Mei atau May Day, dan Hari Ibu). (2 Kor. 6:14-17) Seperti umat Kristen masa awal, mereka bahkan tidak merayakan hari ulang tahun. Mereka dengan penuh respek menjauhkan diri dari keikutsertaan dalam hari-hari raya nasional yang memperingati peristiwa-peristiwa politik atau militer dan menghindarkan diri dari penghormatan yang bersifat ibadat kepada pahlawan-pahlawan nasional. Mengapa? Karena Saksi-Saksi Yehuwa bukan bagian dari dunia.

Membantu Sesama Mereka

Penghormatan kepada dewa-dewa ada dalam hati dari kehidupan sosial dan budaya Kekaisaran Roma. Karena umat Kristen tidak ikut serta dalam apa pun yang dinodai oleh dewa-dewa kafir, masyarakat memandang kekristenan sebagai penghinaan terhadap cara hidup mereka; dan menurut sejarawan Tacitus, umat Kristen disebut sebagai pembenci manusia. Senada dengan itu, Minucius Felix, dalam tulisan-tulisannya, mengutip kata-kata seorang Romawi kepada seorang Kristen yang dikenalnya, ”Kamu tidak datang ke pertunjukan-pertunjukan, kamu tidak ambil bagian dalam pawai-pawai . . . muak akan permainan-permainan suci.” Masyarakat Romawi purba tidak mengerti umat Kristen.

Sama halnya dewasa ini, Saksi-Saksi Yehuwa tidak dapat dimengerti oleh banyak orang di dunia ini. Mereka boleh jadi mengagumi standar moral yang tinggi dari Saksi-Saksi, tetapi merasa bahwa Saksi-Saksi seharusnya bergaul dengan dunia di sekitar mereka dalam kegiatan-kegiatannya dan terlibat dalam membantu membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Akan tetapi, mereka yang mengenal Saksi-Saksi Yehuwa mempelajari langsung bahwa ada alasan berdasarkan Alkitab untuk semua hal yang mereka lakukan.

Sebaliknya daripada menutup diri terhadap anggota masyarakat lain, Saksi-Saksi Yehuwa membaktikan kehidupan mereka untuk membantu sesama dengan cara yang telah Yesus Kristus berikan sebagai teladan. Mereka membantu orang-orang belajar cara mengatasi problem-problem kehidupan dengan sukses sekarang dengan memperkenalkan kepada mereka Pencipta dan bimbingan untuk kehidupan yang diuraikan dalam Firman-Nya yang terilham. Mereka dengan bebas membagikan kepada sesama mereka kebenaran-kebenaran Alkitab yang dapat mengubah seluruh pandangan seseorang terhadap kehidupan. Inti dari kepercayaan mereka adalah kenyataan bahwa ”dunia ini sedang lenyap”, bahwa Allah akan segera campur tangan untuk mengakhiri sistem jahat yang ada sekarang, dan bahwa masa depan yang mulia menantikan mereka yang tetap bukan bagian dari dunia dan menaruh iman mereka sepenuhnya pada Kerajaan Allah.—1 Yoh. 2:17.


— Akhir Kutipan 



Bagaimanakah pendapat Saudara? Apakah demikian sikap seorang Kristen sejati?

1 comment :

  1. Mohon baca kitab PL. Setelah keluar dari Mesir, setiap laki-laki Israel (umur 20th keatas yg sanggup berperang), kecuali suku Lewi, diwajibkan berperang.
    Dari gurun menuju tanah terjanji harus melewati wilayah bangsa yg sdh eksis kala itu. Ada wilayah yg bisa dilewati dgn damai, tapi mayoritas hrs dgn cara berperang, bahkan kadang sampai kaum ibu/wanita, anak kecil, & bayi harus dibunuh. Padahal 2loh batu dalam tabut berada ditengah2 laskar Israel.Perintah jangan membunuh dlm loh batu jelas2 dilanggar, tapi konteksnya Allah sendiri yg memerintah untuk membunuh bangsa yg tidak kooperatif.
    Baca juga Abraham yg berperang melawan raja2 (Kedorlaomer dkk). Tidakkah Abraham pernah membunuh dalam perang itu?
    Baca juga seputar raja Daud. Apakah Daud tidak pernah membunuh sama sekali disaat berperang terutama saat melawan Goliath?
    Intinya hrs dilihat konteksnya apa. Perang vietnam untuk membendung paham komunisme, perang dunia 1 untuk membendung agresi wilayah, perang dunia 2 jg mengenai agresi batas wilayah. Kejadian membunuh agresor bisa dimengerti akal kita, malah bisa dikategori sbg heroik. (Berhadapan dgn agresor, tapi mengarahkan senapan keatas itu baru pertama kali saya dengar)
    Contohnya Musa saat muda pernah membunuh orang Mesir yg menindas di depan matanya. Sangat heroik.
    Bukan berarti saya setuju bunuh membunuh secara general, melainkan dilihat dulu kasus per kasus

    ReplyDelete

Tolong SEBUTKAN Nama Atau Initial Anda saat memberi komentar agar memudahkan Mitra diskusi Anda mengidentifikasikan Anda.

Non Kristiani, mohon tidak memberi komentar.

Jika Anda ingin komentar, silahkan klik DI SINI DULU

.